Acting White?

Rasa-rasanya, hal-hal yang berbau Barat—makanan Barat, pola pikir Barat, fashion Barat, arsitektur Barat, gaya hidup Barat, teknologi Barat dan orang Barat (bule-red), mempunyai daya pesona yang begitu dahsyat. Saking dahsyatnya daya pesona itu, kitapun dengan suka hati ingin meniru Barat. Tidak peduli laki-laki maupun perempuan, pejabat atau rakyat miskin, orang kota atau orang desa, orang Solo atau orang Jakarta, semuanya ingin meniru Barat, termasuk warna kulitnya.

Memang, di masa depan, sensitivitas warna kulit sepertinya masih akan menjadi senjata ampuh untuk legitimasi atas banyak kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, kelas dan kekuasaan rasanya akan selalu kukuh berusaha menjaga dan membangun kembali hidupnya sentimen warna kulit ini. Akan tetapi, fenomena ini tampaknya merupakan fenomena yang populer di Indonesia, dan juga di seluruh Asia. Namun kritik atas masalah ini berbeda di masing-masing negara. Di Malaysia misalnya, salah satu fenomena yang santer diperbincangkan di kalangan para pemerhati masalah ini adalah mengenai iklan pariwisata Malaysia. Meski mempromosikan ‘Asianess’, namun pelaku atau model yang ditampilkan dalam iklan tersebut kesemuanya adalah perempuan-perempuan berkulit putih atau ada yang indo. Menurut penulis, hal ini bertentangan dengan pesan iklan tersebut yang mengemban jargon: ‘Malaysia, truly Asia’.[1]

Lain halnya dengan yang terjadi di Jepang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Francoise Kadri, perempuan Jepang—bahkan yang masih anak-anak pun—selalu memimpikan untuk mempunyai kulit yang putih seperti cangkang telor rebus yang bersinar. Di negara ini, kulit putih—meski orang Jepang sendiri menurut kaca mata orang Asia sudah berkulit putih—menjadi salah satu simbol kelas, setidaknya hal itu menandakan bahwa seseorang tidak berasal dari desa atau pekerja lapangan. Perempuan harus menggunakan payung bila berada di bawah terik matahari, menggunakan sunblock atau pelindung matahari jika pergi ke pantai, atau bahkan menggunakan pakaian yang rapat menutup tubuh—seperti jaket dan kaos tangan—untuk melindungi mereka dari sengatan matahari yang bisa membuat kulit mereka menjadi gelap. Kadri menyebutkan bahwa sebenarnya, tendensi untuk memiliki kulit putih ini sudah muncul sejak tahun 1960-an. Namun, disebutkan bahwa Jepang mulai tertarik membangun industri kosmetik pemutih kulit ini tujuh tahun kemudian. Ini berarti bahwa sejak tahun 1967, Jepang telah memproduksi produk-produk pemutih dan industri produk-produk pemutih kulit ini merebak pada akhir tahun 1990-an, termasuk di Indonesia. Penjualan dari produk ini selalu meningkat tiap tahunnya. Pada kisaran 1997-2002 saja misalnya, produk pemutih kulit meningkat 23% di Jepang.[2]

Kadri menyebutkan, perempuan Singapura dan Taiwan pun berperilaku tidak jauh berbeda dengan perempuan Jepang. Mereka juga ingin memiliki kulit putih, bahkan putih seperti translucent, hampir seperti kulit transparan. Di Cina, pemutih kulit Cleawhite juga begitu pupuler, demikian berdasarkan laporan Andrea Jung.[3] Di Thailand warna kulit yang digemari saat ini sama dengan di Jepang, yaitu khao khai pog atau kulit putih seperti cangkang telor rebus.[4] Fakta ini diperkuat oleh tulisan Holly High yang menyebutkan bahwa di Thailand, kulit putih itu dianggap cantik secara sosial.[5] Berdasarkan interview penulis pada beberapa perempuan yang berasal dari Filipina, di kalangan generasi muda Filipina, idealisme kulit juga beralih dari warna kayu manggik—warna seperti warna kuning langsat di Indonesia—menjadi putih seperti orang ‘Barat’.[6]

Di Indonesia, sebuah negara demokrasi bekas jajahan Belanda yang memiliki pluralitas budaya dan suku bangsa, ras dan etnik, fenomena kulit putih ini menjadi bahan diskusi menarik.[7] Kaum perempuan sibuk memutihkan kulit coklat atau kulit gelap mereka dengan mengkonsumsi produk-produk pemutih demi mengejar norma-norma global yang berlaku sekarang. Ayu Utami, seorang penulis dan feminis, juga mengakui bahwa ukuran perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih.[8]

GLOBALISASI dan IKLAN NEO-KOLONIAL
Arus globalisasi sudah tak terbantahkan. Hegemoni budaya modern pun menciptakan dominasi pencitraan dalam bahasa yang sangat mudah dipahami. Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi semakin seragam atau homogen dengan sistem standardisasi melalui teknologi dan melalui hal-hal yang bersifat komersial, dan sinkronisasi kultural terhadap budaya Barat.[9]

Di bawah panji ‘globalisasi’, feodalisme kolonial negara-negara eksploiter yang kaya raya telah melakukan pemaksaan melalui mekanisme pasar. Di zaman dunia trans-nasional seperti sekarang, kapitalisme media membentuk cara pandang kita terhadap dunia, kesadaran kita terhadap masalah kelas, identitas, gambar diri, nilai-nilai hidup: apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, moralitas atau kejahatan. Media menyediakan simbol-simbol, mitos dan sumber-sumber melalui budaya yang dianggap umum dan melalui apropriasi dimana kita menjadi bagian dari budaya tersebut.[10]

Memang, penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat—Hollywood atau London atau Paris misalnya—dengan segala atribut prestisiusnya, bisa menciptakan gap-gap terhadap lokalitas masing-masing negara yang mengonsumsinya. Di Indonesia, budaya massa Amerika mendominasi pola hidup dan cara pandang kita terhadap dunia. Karena kita tidak melek media (media literacy) dan kita juga tidak memiliki tradisi berpikir dialektis, maka saat politik budaya beralih rupa menjadi kapitalisme dan feodalisme global, lagi-lagi kita menjadi obyek. Banyak sekali orang—terutama kaum perempuan tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan dan kompensasi-kompensasi sesaat—seperti kompensasi atas kesadaran warna kulit ini. Mereka samapai babak belur karena harus menyesuaikan diri dengan hirarki global (global hierarchy) yang sedang berlaku. Menurut Lazarfeld and Merton, media mempunyai fungsi sebagai racun pembius (narcotizing dysfunction) yang menjadikan masyarakat kita tidak bisa menjadi bagian dari subyek dalam globalisme ini. Lihat bagaimana kapitalisme membius konsumen dengan iklan neo-kolonialnya.

Iklan Caring Colors, salah satu brand dari produk Biokos, Sari Ayu Martha Tilaar sangat menarik untuk disimak. Iklan yang beriklan di majalah-majalah perempuan terkemuka ini menawarkan rasionalitas menjanjikan. Secara garis besar, iklan ini ingin berkata bahwa untuk bisa diakui orang harus tidak tradisional tapi modern, yaitu dengan memiliki kulit putih. Lihat ilustrasi di bawah:

Iklan ini sangat menarik untuk mewakili produk pemutih lain yang beriklan di media-media cetak, sebab menurut saya, slogan produk pemutih kulit ini sangat semiotis. Dalam iklan tersebut dituliskan ‘Just White and See!’[11] yang merupakan kreasi dari ungkapan dalam bahasa Inggris ‘Just Wait and See!’. Bila dibahasa-Indonesiakan, arti dari slogan produk pemutih Caring tersebut, ‘Jadilah putih dan lihat hasilnya nanti!’

Jelas, iklan ini menciptakan kriteria tunggal tentang feminitas, dan meniadakan keberagaman feminitas lokal. Tapi apapun itu, iklan ini tetap memesona, dan menjadi semakin memesona karena ia menawarkan added value (nilai lebih) atau imaginasi yang dibangun oleh pengiklan, sebagai ekses dari kebutuhan fisik. Hasil atau paket yang bisa diterima oleh seseorang setelah menjadi berkulit putih yang dimaksudkan iklan ini termasuk dalam hitungan tak terhingga. Dari sinilah iklan-iklan tersebut dikemas dalam sebuah paket yang menawarkan fantasi. Contoh lain adalah produk Ponds.

Menurut data dari AC Nielsen, untuk kurun waktu bulan Januari-Desember 2002-2003, peningkatan produk pemutih Ponds White Beauty-Skin Lightening di Indonesia meningkat drastis sampai 110%, dari hitungan 46 milyar menjadi 97 milyar. Di tingkat Asia, peningkatan produksi pemutih ini mencapai 20% pada periode 1997-2002.[12] Dari hasil perhitungan ini, bisa disimpulkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk pemutih kulit meningkat dengan begitu signifikan. Selain indikator tersebut, bertambahnya produk-produk pemutih merek lain yang sampai 47 jenis produk, juga merupakan peta tersendiri yang bisa dibaca sebagai potensi konsumtif masyarakat di Indonesia.

Representasi dari pemutih kulit distrategikan, dilokalkan, dan digeneralisasikan untuk memperluas gairah dan keinginan perempuan dan laki-laki—beberapa iklan pemutih ini menggunakan male approval— dengan terus-menerus menekankan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas. Iklan secara khusus menghidupkan sensitivitas masa lalu kembali ke dalam kontras dan perbandingan yang tampak (visible contrast and comparison) [13] berdasarkan oposisi biner hirarki patriarkal dan kolonial.

MENTALITAS INLANDER

Mengapa kita mudah sekali termakan iklan-iklan neo-kolonial tersebut dan menerima ide iklan itu sebagai yang semestinya? Mengapa kita bisa meyakini kalau hal-hal yang berbau Barat itu lebih baik dan bahkan superior?

Salah satu jawaban mengapa pemujaan terhadap nilai-nilai asing, khususnya perilaku perempuan Indonesia bisa terjadi karena ketidak-berdayaan masyarakat untuk menyikapi laju Westernisasi yang cepat bahkan super cepat dan menyilaukan. Ketidaksiapan ini salah satunya disebabkan karena mereka masih menderita rasa rendah diri yang penulis sebut dengan ‘mentalitas inlander’. Apa itu mentalitas inlander? Mentalitas inlander yang saya maksud adalah segala pemikiran, konsep, dan perasaan rendah diri—termasuk mengikuti dan mengadopsi nilai-nilai Barat—yang dihidupi oleh orang Indonesia terhadap apapun yang ada sangkut pautnya dengan Barat dan menganggap apapun yang melekat pada Barat tersebut lebih “superior” dibanding dengan apapun yang lekat pada bangsa sendiri.

Lalu, mengapa kita bisa memiliki mentalitas inlander? Menurut saya perasaan rendah diri ini tidak datang dengan serta merta. Perasaan ini ada dan muncul dari rembesan pengalaman sejarah yang secara turun temurun diwariskan oleh para pendahulu ke dalam tradisi kehidupan rakyat Indonesia hingga saat ini. Pendahulu yang saya maksud adalah feodalisme dan kolonialisme. Masa kolonial Belanda sangat membantu kita untuk memahami fenomena kontemporer.

Menurut Frantz Fanon, pengasingan budaya menjadi ciri khas masa kolonial, dan konteks kolonial dicirikan oleh dikotomi yang sengaja diciptakan kaum kolonialis terhadap semua orang.[14] Kolonialisme melakukan pencemaran watak dan brain washing terhadap pribumi atau menurut S.H. Alatas, kolonialisme melakukan revolusi mental. Secara umum, penjajahlah yang mendefinisikan wacana-wacana di negeri jajahannya, termasuk di yang dilakukan kolonial Belanda di Nusantara.

Politik diskriminasi memang dijadikan salah satu ujung tombak kolonial Belanda. Bahkan politik ini pun sudah sengaja ditanamkan pada anak-anak mereka. Saya menggunakan Soekarno sebagai informan saya. Dari pengalaman hidup Soekarno, kita bisa mendapatkan gambaran jelas bagaimana Belanda melakukan brain washing pada pribumi. Soekarno muda mengalami banyak penghinaan. Dalam biografinya Soekarno berkata:

“Klub sepak bola adalah pengalaman traumatik bagiku. ‘Hey kamu kulit coklat! … hey orang kulit coklat! bodoh dan miskin … pribumi … inlander … petani … . Hey, kamu lupa pakai sepatu … .’ ‘Meski anak bule yang masih kecil pun sudah tahu meludahi kami, inilah hal pertama yang diajarkan oleh orang tua mereka setelah tidak lagi memakai popok.”[15]

Anak-anak usia sekolah sudah fasih mengejek, menghina, dan merendahkan orang-orang pribumi. Keterpurukan perasaan yang dialami Soekarno secara individual tampaknya merupakan gambaran dari keterpurukan dan penghinaan yang diterima oleh orang-orang pribumi dalam konteks yang lebih luas. Ia lebih lanjut mendeskripsikan kesengajaan kolonial Belanda dalam usahanya mengkonstruksikan rasa rendah diri masyarakat kita sebagai bangsa yang rendah. Pada sebuah kesempatan Soekarno berucap:

“Tempe itu sejenis makanan yang murah, yang dibuat dari kedelai yang dijamurkan. Negara dengan mental tempe berarti negara yang lemah, lembek. Itulah yang sedang kami alami sekarang. Orang-orang Belanda selalu dan terus-menerus mengatakan ataupun menganggap kami sebagai bangsa dengan otak kapuk. Oleh karena itu, kami menjadi pengecut dan tidak percaya diri—takut untuk duduk, takut untuk berdiri, sebab apapun yang kami lakukan selalu dianggap salah. Kami menjadi orang-orang yang mempunyai hati yang kerdil dan gampang di konstruksikan/diombang-ambingkan.”[16]

Uraian ini membawa ingatan kita pada studi yang dilakukan oleh S.H. Alatas mengenai mitos pribumi malas. Dalam studi itu disebutkan bahwa begitu dijajah, begitu negara diambil alih, dalam segala hal pribumi harus menerima tempat di bawah. Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk. Bahkan menurut Fanon, dengan sengaja penjajah menyatakan bahwa pribumi tidak dapat merasakan etika; yang melambangkan tidak adanyanya nilai-nilai, tetapi juga peniadaan nilai-nilai. Lebih jelas lagi, Soekarno menunjukkan kesengajaan Belanda untuk membodohkan rakyat:

“Penanaman terus menerus Pemerintah Hindia Belanda kepada kami bahwa kami inferior berhasil meyakinkan kami akan hal itu. Senjata yang mereka pakai adalah dengan meyakinkan kami bahwa kami bodoh dan menananamkan bahwa ras kami adalah ras yang rendah dan hina. Itulah senjata yang dipakai oleh penjajah.”[17]

Dalam bahasa Inggris, lebih tegas lagi Soekarno mengatakan bahwa, “Imperialism is a collection of visible and invisible powers.”[18] Pendapat ini sejajar dengan kekuasaan Barat kontemporer yang berada pada tingkatan norma-norma yang di satu pihak kasat mata sekaligus di lain pihak tidak. Masa penjajahan dianggap Soekarno sebagai masa yang mematikan dan menggelapkan sekaligus menekan segala keinginan rakyat Indonesia untuk mengekspresikan dirinya. Kolonialisme menghalalkan semua cara untuk melanggengkan supremasinya, termasuk tindakan pencucian otak (brain washing) kepada masyarakat Bumiputera.

Kolonialisme merupakan budaya yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan budaya dan menciptakan katagori-katagori universal, tidak hanya mengeksplorasi daerah jajahan dalam bentuk fisik namun juga mengeksploitasi budayanya. Tindak tanduk kita harus patuh pada cara-cara Belanda, sementara kebudayaan pribumi diberangus. Eropa menciptakan dominasi kekuasaan dan sekaligus menentukan standar dan kriteria atas binari beradab dan tidak beradab. Untuk mengerti ini kita perlu mengingat masalah klasifikasi rasial pada abad ke-19 dimana cultuurstelsel adalah landasan kuat proses legalisasi klasifikasi rasial di Hindia-Belanda. J.C. Baud, salah satu pembentuk dan pelaksana cultuurstelsel ini menegaskan bahwa bahasa, warna kulit, agama, moral, keturunan, ingatan historis, dan semuanya adalah sepenuhnya berbeda antara orang-orang Belanda dan orang-orang Jawa. Orang Belanda adalah penguasa dan Jawa adalah yang dikuasai. Salah satu penegasan atas politik rasial ini dilakukan oleh Gubernur Jendral J.J. Rochusen yang memerintah 1848-1849. Dia mempertegas perbedaan biner antara penjajah dan yang dijajah dengan mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral dan intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit coklat.[19] Sampai abad ke-19 asumsi dari klasifikasi rasial ini menjadi legal. Secara garis besar, mungkin latar belakang inilah yang juga menjadi dasar mengapa masyarakat sadar atau tidak sadar menerima konotasi kolonial bahwa kulit putih lebih agung daripada kulit warna kulit lain.

Pada gilirannya, warisan kolonial tersebut berurat akar dan hidup dalam budaya dan pola pikir bahkan alam bawah sadar kita sehingga dalam konteks sekarang, lemahnya kesadaran lokalitas akibat pengasingan budaya dan konstruksi kolonial tersebut melahirkan sikap pemujian, pemujaan, dan penyanjungan yang berlebihan terhadap norma-norma Barat termasuk demam kulit putih ini.

Jadi, sebenarnya masyarakat mengkonsumsi barang-barang tersebut lebih pada kegunaan simbolis untuk kepentingan identitas sosial sebagai salah satu simbol kelas dan modernitas. Orang tidak lagi membeli produk namun lebih pada ekses yang dijanjikan oleh produk pemutih tersebut atau kegunaan simbolis atau maknanya. Nilai lebih dari iklan pemutih ini jelas, yaitu superioritas Barat.

Vissia Ita Yulianto
Dipresentasikan dalam acara Temu Koreografer Wanita ke-6, Mataya Arts and Heritage, Solo Grand Mall, 29 April 2008

[1] Iklan pariwisata Malaysia dengan jargon ‘Malaysia Truly Asia’ ini bersaing dengan kampanye pariwisata Yogyakarta yang diprakarsai oleh Gubernur DIY dengan jargon’ Jogyakarta Never Ending Asia.’
[2] Fancoise Kodri, White is Right for Color-Consciousness Japan Women, The Jakarta Post, Sunday, June 29, 2003, hal 5.
[3] Shobana Chandra, Avon Calling in China, http: //www.chinadaily.com.cn/English/doc/2004-03/22/content_316806.htm.
[4] Data ini saya dapatkan dari keterangan Pichet Saipan, seorang kandidat Ph.D Universitas des Sciences Sociales et Humaines, Vietnam National University saat bersama-sama melakukan studi pustaka di Asia Research Institute, National University of Singapore 2004.
[5] Holly High, ‘Black’ Skin ‘White’ Skin: Riches and Beauty in Lao Women’s Bodies, Thai Yunnan Project Bulletin. No. 6 June 2004. hal. 7- 9.
[6] Hasil wawancara saya dengan beberapa ilmuwan negara-negara tersebut yang tergabung dalam Asian Research Institute 2004, National University of Singapore, 2004.
[7] Lih. Vissia Ita Yulianto, The Allure of Whiteness in Indonesia, http:www.afrase.org/euroseas2004/documents/ateliers/euroseas_20_206.doc
[8] Ayu Utami, Si Parasit Lajang, Seks, Sketsa, dan Cerita, Gagas Media, 2004, hal. 85-89.
[9] JN.Pieterse, Globalization as Hybridization seperti dikutip dalam Indigenization of Modernity: Cultural Globalization and the Third World, Raj Mohini Sethi (ed)., Globalization, Culture and Women’s Development, Rawat Publications, Jaipur and New Delhi, 1999.
[10] Douglas Kellner, Cultural Studies, Multiculturalism and the Media Culture dalam Gail Dines and Jean M. Humez (ed)., Gender, Race, and Class in the Media : A Text-Reader, Sage Publications, London and New Delhi, 2003. hal. 9-19.
[11] Just white and see seharusnya Just be white and see.
[12] Francoise Kodri, White is Right for Color-Consciousness Japan Women, The Jakarta Post, Sunday, June 29, 2003.
[13] Goon and Craven, ibid., Pointers 8. Iklan senada bisa ditemukan dalam banyak produk pemutih di Indonesia, misalnya: Purbasari White dimana iklan itu menampilkan seorang laki-laki paruh baya sedang mengadakan audisi terhadap beberapa orang perempuan muda. Dengan serta merta laki-laki itu memilih seorang perempuan yang kulitnya lebih putih daripada warna kulit perempuan lainnya. Bahkan, sambil menunjuk kepada perempuan yang tidak terpilih tersebut dengan berkata, “Kamu! Pakai dulu Purbasari White!”
[14] Frantz Fanon, Bumi Berantakan, Teplok, Yogyakarta, 2000, hal. 16.
[15] Cindy Adams, Soekarno an Autobiography As Told to Cindy Adams, Bobbs-Merrill, London, 1965, hal. 28-33.
[16] Cindy Adams, op.cit., 1965, hal. 33.
[17] Cindy Adams, op.cit., 2001, hal. 46.
[18] Cindy Adams, ibid., 2001, hal. 46.
[19] C. Fasseur, Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State in Indonesia dalam Robert Cribb (ed.), The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden, 1994, hal. 31-34.

Kartini Menggugat

Sejatinya, Kartini adalah seorang kritikus sosial yang progresif. Lewat surat-suratnya, kerumitan sejarah masa itu diungkapkan dengan segala keleluasaan dan tidak terkontaminasi oleh sistem dominan. Ide-idenya menjadi dokumen sejarah yang berasal dari luas dalan dalamnya pandangan seorang nasionalis dalam lingkaran artikulasi Jawa pada akhir abad 19. Sayangnya, ia jarang diperbincangkan dalam lingkup yang variatif. Sampai saat ini ia melulu ditempatkan sebagai sosok perempuan Jawa yang feodal dan tradisional. Bahkan, di kalangan kaum muda, Kartini dianggap kuno dan ndeso. Benarkah demikian?

Perlu kita ingat, Kartini hidup dalam kompeksitas cengkeraman feodalisme Jawa dan kolonialisme Belanda yang begitu kuat. Akan tetapi dia cukup punya nyali untuk mengorbankan sebagian dari dirinya untuk menggugat. Tidak hanya berusaha menyingkap kabut bagi kaum perempuan, namun ia juga memperjuangkan keterbelakangan dan kebodohan pribumi. Ia banyak mengajukan kritik baik terhadap pemerintah kolonial Belanda maupun kepada kaum feodal Jawa yang ketika itu “impoten” secara politis. Bahkan, ia berani melontarkan gugatan pedas mengenai masalah yang hingga di zaman post-modern ini pun masih sangat sensitif, yaitu masalah agama dan kekerasan. Dalam surat yang ditulisnya kepada seorang feminis Belanda Stella Zeehandelaar 6 November 1989, Kartini menulis, “Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang telah diperbuat atas nama agama? Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk menjadi tali penghubung antara semua ciptaanNya. Kita semua bersaudara bukan karena satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa agama lebih baik tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. …Aku sering bertanya pada diriku sendiri: apakah agama merupakan sebuah rahmat kalau prakteknya malah seperti ini?”

Cara berpikir seperti Kartini ini tergolong berani. Memang, agama dan kekerasan adalah lagu lama yang selalu berkumandang di sepanjang peradaban manusia sejak dulu. Dalam konteks luas, baik secara individu maupun kolektif, agama sering dihidupi secara kaku dan bahkan disimulatif sehingga penghidupan semacam ini sering memberangus toleransi, mengesampingkan logika kemanusiaan dan hati nurani. Untuk konteks sekarang, kerusuhan Poso, pembakaran gereja di Sambas, perang saudara di Ambon, perusakan tempat-tempat ibadah di Jawa dan tragedi bom Bali telah mengingatkan kita betapa agama dijadikan alasan—oleh kelompok-kelompok tertentu—untuk menjahati kemanusiaan dan mengangkangi moralitas.

Sesungguhnya, pandangan Kartini ini ditulis dalam rangka menyikapi paradoks-paradoks kehidupan keagamaan saat itu, termasuk masalah poligami. Secara implisit ia juga mengeluhkan “keterpingiran” yang dialami ibu kandungnya, Ngasirah, karena poligami. Ia mempertanyakan bagaimana sebenarnya poligami terakomodir dan tumbuh subur dalam payung agama. Lagi lagi, substansinya terletak pada pemahaman keliru terhadap dogma agama sehingga kerap kali agama hanya dijadikan sebagai simbol formal dalam masyarakat dan legitimasi politis kekuasaan, termasuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Hingga zaman post-modern ini, kiranya gugatan dan pandangan Kartini tentang agama, kekerasan dan poligami masih tetap menjadi pro-kontra yang sengit.

Kartini dan opium
Sementara itu, Kartini juga memiliki keprihatinan lain yang tak kalah serius, mengenai opium. Tidak jauh beda dengan merajalelanya narkoba saat ini, lewat suratnya tertanggal 13 Januari 1900, Kartini memberitahu kita bahwa pada abad 19, opium atau ganja telah menjadi candu masyarakat; “Ada setan yang lebih jahat daripada minuman keras! Opium! Oh mengerikan! Keganasan opium sungguh tak bisa diuraikan dengan kata-kata. Opium adalah sebuah penyakit di Jawa. Ya, opium lebih ganas dari pada penyakit itu sendiri. Penyakit pasti bisa sembuh namun opium, kejahatan opium bisa menyebar dan melebar kemana-mana dan tak pernah, tak akan pernah bisa ditangani dengan satu peraturan Pemerintah! Semakin banyak penggunanya semakin menjadi besarlah bisnis ini. Bisnis opium adalah bisnis yang paling menjanjikan bagi pemerintah Belanda. Meraka untung tapi rakyat buntung…apakah rakyat menjadi baik atau tidak mereka peduli apa?…banyak yang bilang opium itu tidak merugikan, oh…mungkin mereka buta…tidak merugikan bagaimana?pembunuhan, pembakaran, perampokan, apalagi kalau bukan akibat langsung dari opium!”

Dalam konteks sejarah yang lebih luas, polarisasi perdagangan opium saat itu memang sangat serius. Pada tahun 1870an, opium ada disegala penjuru pulau Jawa dan dinikmati oleh rakyat dari segala kalangan dan menjelang akhir abad 19, pasar-pasar opium terkaya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Suhartono, 1993). Dikalangan kaum priyayi, opium sudah menjadi lambang keramahtamahan dan prestis untuk menjamu tamu. Kegandrungan rakyat Jawa pada opium masih berlanjut hingga awal abad 20. Ini bisa kita lihat dari surat Kartini kepada Abendanon Mandri—seorang perempuan Belanda yang ia panggil Ibu—yang masih mengeluhkan hal serupa (10 Agustus 1904).

Sastrawan
Adalah tidak berlebihan bila orang menyebut Kartini sebagai seorang sastrawan. Sebagai seorang anak nigrat Jawa, ia mempunyai akses dan waktu yang lebih daripada rakyat kebanyakan. Dan, waktunya banyak dia isi dengan membaca dan menulis. Dari keduanya, dia bisa memiliki lebih banyak kebebasan untuk mecurahkan semua yang ia rasakan dan pikirkan, termasuk mencurahkan kegaulan hatinya ketika ia tidak berani menggugat. Dalam banyak suratnya, ia sering menggunakan ruang simbolik dari tulisan kreatifnya, membiarkan dirinya berefleksi dan bervisualisasi secara metaforis tentang citra dirinya. Tanggal 13 Januari 1900 ia menulis, “Gamelan kaca yang ada di Pendopo itu bisa bercerita padamu lebih banyak daripadaku. Mereka melantunkan lagu kesayangan kami. Hm, bukan sebuah lagu, bukan pula sebuah melodi, hanya suara-suara dan getaran-getaran lembut, berpadu dan mengalir begitu saja, tapi disaat yang sama terdengar begitu menentramkan sukma, mengalir begitu syahdunya! Bukan, bukan itu, itu bukan suara dari kaca, tembaga atau kayu; itu adalah suara jiwa-jiwa manusia yang sedang berbicara kepada kami, kadang gundah, kadang meratap dan jarang sekali tertawa bahagia. Dan jiwaku terbang terbawa desiran suara-suara itu, suara gamelan, kelangit biru, melewati awan tipis, menerpa sinar gemintang—bunyi gong bergaung keras membawaku kelembah gulita, kejurang yang dalam, melewati belantara yang takterjamah manusia!Dan jiwaku gemetar ketakutan, kesakitan dan perih!”

Rupa-rupanya, dibalik kegagahan Kartini, ia juga mempunyai ruang privat. Lewat ungkapan metaforis ini, menyimpan apa yang tersembunyi, mungkin rahasia kelam kehidupan dirinya. Lewat lantunan gending Jawa itu, Kartini menggunakan imajinasiya untuk menciptakan kisah hidupnya sendiri yang terapung-apung ditengah jalan antara kenyataan dan dunia mimpi. Kreatifitas mengungkapkan gagasan-gagasan yang hilir mudik berseliweran dalam kepalanya tersebut jelas menunjukkan ketrampilan dan kematangan sastra.

Kartini dan rasisme
Kartini adalah juga pelopor kesetaraan ras. Ini ia tunjukkan dengan kritiknya pada politik rasisme Belanda. Ia terlihat sangat emosional dalam menanggapi masalah ini. Ia menulis, “…dan masih juga, sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan’. Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan ‘Hindia yang miskin’. Orang mudah sekali lupa kalau ‘negeri kera yang miskin ini’ telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal disini.”

Catatan Kartini ini menyodorkan sebuah pembenaran bahwa politik rasisme Belanda dibangun dalam ukuran cranial measurements and facial comparisons (lewat ukuran batok kepala dan perbandingan wajah) (Krishnaswamy, 1998). Selain itu, Hindia Belanda juga digambarkan seperti apa yang disebut Ien Ang (2001) sebagai a site of deprivation (tempat yang serba kekurangan). Yang terjajah diindentikkan dengan fisik yang buruk, bodoh, tradisional dan tidak berbudaya, sedangkan si penjajah diposisikan sebagai yang pandai, cakap secara fisik, modern dan berbudaya.

Kartini sadar benar bahwa konstruksi rasis semacam itu menghancurkan rasa percaya diri rakyat yang masih hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Hal inilah salah satu latar belakang mengapa dia menggugat dan mengirimkan sebuah nota kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memberi akses pendidikan bagi pribumi. Nota itu terkenal dengan nama Nota Pendidikan (1903).

Seperti kita tahu, oleh rezim lalu Kartini disudutkan dan dihadirkan sebagai perempuan domestik. Label itu itu pula yang membuat masyarakat umum mempunyai pandangan keliru tentang kepoloporannya. Seiring berlalunya rezim tersebut, hendaknya kita perlu mempertimbangkan kembali akan dedikasi dan partisipasi Kartini sebagai salah satu tokoh progresif di Indonesia.
Vissia Ita Yulianto
Penerjemah Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
((1899-1903) – Kompas, 2004).
Artikel ini pernah terbit di Harian SINDO, 21 April 2008

The Inspiring Eyes

Oleh: Y. Budi U*

Miles Hilton Barber, seorang tuna netra asal Inggris, berhasil mendarat sempurna di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, 15 April 2007 lalu. Miles, didampingi Richard Meredith Hardy, yang juga seorang tuna netra menerbangkan pesawat microlight Pagasus Mainair GT450 mengelilingi dunia, termasuk mengunjungi Indonesia. Misi Miles sangat jelas, yakni penggalangan dana bagi para tuna netra di sejumlah negara berkembang. Miles sendiri dikenal amat berprestasi. Hampir di sepanjang hidupnya, Miles telah memiliki pengalaman terbang lebih dari 250 mil melewati Antartika, melewati 159 mil Gurun Sahara, mendaki Gunung Himalaya, dan bahkan pernah mengikuti Grand Prix Malaysia untuk orang buta. Sepertinya, ketidaksempurnaan inderawi bukan merupakan halangan berarti bagi seorang Miles.

Hubungan kesalingan

Kehadiran Miles di Indonesia mengejutkan banyak orang sekaligus mengundang decak kagum. Betapa tidak. Kondisi inderawi yang tak sempurna justru tidak membuat Miles menyerah dan tunduk pada nasib. Ia berjuang dan terus bertumbuh dalam pengharapan. Ia mampu mengubah ketidakberdayaan menjadi kebergunaan yang dahsyat. Di sinilah letak kemenangan Miles sebagai seorang manusia.

Sebagaimana dihayati Miles, ada satu kebutuhan dalam diri manusia untuk memberi sesuatu kepada sesamanya. Ia menempatkan diri sebagai makhluk yang bernilai bila hidupnya berguna dirinya sendiri dan bagi orang lain (Jean Paul Sartre). Sebab, manusia adalah bagian dari dunianya, komunitasnya, dan alam semesta secara keseluruhan.

Gabriel Marcel memandang pentingnya konsep ke-aku-an di antara ke-kamu-an. Ada aku karena ada kamu. Ada kamu karena ada aku, dan seterusnya. Masing-masing diri manusia menyumbang fungsi dan peran berbeda, yang menjadikannya semakin bermanfaat bagi orang lain. Man for the others, begitulah kaul yang kerap diucapkan para rohaniwan.

Bagaimana mungkin dalam diri seorang tuna netra tumbuh kesadaran akan solidaritas manusiawi yang tulus untuk membantu orang lain yang bernasib sama? Jawabannya bisa saja mungkin, bila kesadaran itu telah dihidupi menjadi satu kebutuhan. Solidaritas akan tumbuh bila dalam diri seseorang ada mutiara ketulusan, menjadi sebuah solidaritas manusiawi (Richard Rorty). Solidaritas manusiawi merupakan solidaritas yang tidak dibuat-dibuat, lahir dari kedalaman hati, dan tentu saja tidak berharap pamrih jasa apalagi materi. Menolong karena ingin menolong, membantu karena ingin membantu, dan seterusnya. Hal itu diyakini pula oleh Thomas Merton, “Nobody is an island” (1955). Tidak seorang pun manusia sanggup hidup sendiri. Ia selalu butuh orang lain, entah dalam kapasitas yang kecil atau besar. Dari situlah, manusia sebagai homo socius menempatkan dirinya sebagai seorang Adam yang membutuhkan Hawa, sebagai teman hidup.

Bertolak dari pengalaman Miles di atas bisa ditarik satu simpul kecil tentang kesalingtergantungan manusia dengan sesamanya. Dan, Miles telah mampu menempatkan ke”buta”an matanya sebagai satu inspirasi yang mengerakkan kepeduliannya. Hal ini menarik. Tata alam yang normal seolah dijungkirbalikkan oleh “kepiawaian” (profesionalisme) Miles mengemudikan pesawat. Jika demikian, hidup memang penuh kejutan. Ia adalah misteri, sebagaimana fakta masa depan atau kematian yang selalu tersembunyi (Martin Heidegger). Kenormalan inderawi tidak selalu menjadi jaminan kesuksesan. Demikian pula sebaliknya, ketidaklengkapan inderawi tidak selalu menjatuhkan seseorang dalam kubangan frustasi dan kegagalan.

Tinggal bagaimana mata hati kita melihat hidup secara positif, dinamis, dan paradigmatis. Sebab seringkali kita tidak mensyukuri apa yang sudah diraih, dan lebih sering menyesali apa yang belum diraih (Schopenhauer).

Mata dan cahaya

Jujur, kisah hidup Miles benar-benar menyentuh bidang-bidang permenungan hati yang terdalam, terutama bagi kita yang berpenglihatan normal. Faktanya, kita (termasuk saya) sering mengabaikan kesehatan, terutama mata. Makanan apapun menjadi halal saat diri larut dalam kesenangan dan kenikmatan. Atau mungkin kita lebih memilih duduk melihat TV sambil ngemil daripada berolahraga dan mengeluarkan keringat. Begitu juga saat membaca buku, rasanya lebih nikmat bila dibaca sambil tiduran dan memeluk guling daripada duduk di kursi dalam posisi tegak. Di lain waktu, terkadang kita enggan untuk melakukan relaksasi setelah berjam-jam di depan layar komputer. Kita pun jarang menggunakan pelindung muka saat berkendaraan di jalan raya.

Anehnya, kebiasaan-kebiasaan buruk ini seringkali dilakukan tanpa sadar, tentu dengan berbagai macam alasan. Sebagian menjawab karena malas, sebagian lain mungkin akan menjawab, sudah tradisi, sih! Yang lain lagi mungkin hanya berekspresi cuek.

Tidak ada yang bisa dipersalahkan dari perilaku-perilaku tersebut. Setiap orang memperlakukan kesehatan mata secara berbeda. Namun, alangkah baiknya bila kesehatan mata dimahkotakan sebagai pilihan yang penting. Menjaga kesehatan mata memang sebuah pilihan, dibandingkan dengan pilihan-pilihan hidup yang lain.

Namun, bila kita mengabaikan kesehatan mata bisa dikatakan bahwa itu adalah tindakan gegabah. Coba kita putar ulang layar kehidupan di belakang kita. Bagaimana kita bisa sampai ke tempat tujuan dengan selamat? Kesatuan organ-organ tubuh yang berfungsi normal, didukung dengan mata yang sehat, kita tentu bisa melewati tikungan demi tikungan dengan baik. Kita bisa menghindari kecelakaan yang nyaris merenggut, saat mata kita awas mengamati jalan.

Mata juga menentukan paradigma kita terhadap dunia. Dongeng menjelang tidur mengenai tiga orang buta dan gajah bisa menjadi contoh sederhana. Orang pertama berpikir bahwa seekor gajah berbadan lebar dan kenyal, karena objek yang ia pegang adalah daun telinga. Orang kedua yang memegang kaki gajah mendefinisikan gajah sebagai hewan yang bertubuh bulat, panjang, dan tegak lurus. Dan, orang ketiga yang meraba belalai gajah mendefinisikan gajah sebagai hewan kecil yang amat lentur.

Begitulah, paradigma seseorang ditentukan oleh pencerapan atau daya tangkap inderawi, terutama mata. Dalam dongeng tersebut menjadi jelas bagaimana fungsi mata. Perspektif seseorang menjadi kurang luas saat syaraf otak hanya menterjemahkan realita (yang ditangkap kornea mata) secara terpotong-potong, tidak komprehensif. Meski harus diakui bahwa perspektif (mata) seseorang tidak selalu menentukan seberapa luas cakupan fenomena yang dilihatnya. Ada berbagai faktor yang memengaruhi seseorang mengambil kesimpulan atau keputusan. Sebab, mata juga mengalami tipuan atau fatamorgana saat kornea mata tidak mampu melihat benda dengan sempurna.

Yang menarik, mata bisa mencerahkan hidup seseorang. Lihat bagaimana seorang Totto-chan, anak kecil seusia SD yang lebih tertarik untuk melihat pemusik jalanan daripada papan tulis di kelasnya. Totto-chan, tokoh anak kecil yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi (Gramedia:2004) pada akhirnya harus mengalah pada hasratnya sendiri untuk lepas dari kejenuhan rutinitas di sekolah. Totto-chan lebih memilih (dan menyukai) bersekolah di sekolah bekas gerbong kereta. Ini hanya satu contoh kecil atas rangsangan benda yang dilihat oleh organ mata. Berangkat dari pengalaman melihat, Totto-chan mengubah haluan pemikiran dan sudut pandangnya tentang sekolah. Objek penglihatan menjadi stimulus untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihan. Inilah mengapa, mata secara keseluruhan penting untuk diperhatikan, dirawat dan dijaga.

Hidup sebagai pilihan!

Mata menjadi jendela yang mengantar manusia pada dunia. Dan dengan mata pula orang menjadi sempurna saat aksi Ronaldinho memainkan bola secara elastico, menarik, dan mengagumkan.

Namun, manusia tetap memiliki batas, yang disebut dengan kerapuhan. Kerapuhan diselewengkan menjadi kealphaan. Sementara, kealphaan menjadi tempat manusia yang paling afdol, untuk tidak mengatakan ceroboh atau ngawur. Untunglah titik nadir atas kerapuhan itu mampu menghantar manusia ke pusat kedamaian yang bersemayam dalam diri Sang Khalik itu sendiri. Dari sanalah, keragu-raguan, sekali lagi menyelamatkan iman (kekaguman secara menakjubkan kepada Yang Esa). Keberadaan Yang Esa menuntun kita untuk mensyukuri apa yang diterima, termasuk di dalamnya adalah anugerah penglihatan yang normal ataupun tidak normal.

Namun, kepedulian terhadap kesehatan diri dan mata memang menjadi tugas berat bila belum menjadi kebutuhan. Sekali lagi, di saat kapan pun dan di manapun, semua hal mengandung pilihan. Hidup memang pilihan. Tepatnya, kita senantiasa dihadapkan pada banyak pilihan, dan kita harus memutuskan dengan cepat dan tepat. Jangan dibayangkan bahwa pilihan itu selalu bersifat besar dan membutuhkan energi berlebih untuk menyelesaikannya atau menentukannya.

Keputusan untuk melakukan pilihan selalu terjadi setiap saat. Saat Anda bangun tidur, Anda harus segera memutuskan untuk membuka mata, bergerak (beranjak dari tempat tidur), membersihkan badan dan seterusnya. Anda bisa memilih untuk memakai shampo atau tidak. Kemudian Anda berpakaian. Anda lagi-lagi harus membuat keputusan untuk memakai warna yang cerah, gelap atau kembang/bunga. Begitu seterusnya. Setiap perjalanan waktu Anda adalah kumpulan keputusan yang Anda buat setiap saat; setiap detik. Dan, Anda harus menentukannya suka atau tidak suka, mau atau tidak mau

Melihat optimisme Miles Hilton, nampaknya kita pantas berkaca diri. Meski ia tidak bisa melihat keindahan dunia dengan kedua matanya secara fisik, tetapi rasanya nikmat keindahan dunia jauh lebih bisa dirasakannya sekarang. Keberhasilannya menaklukan kegelapan matanya layak menjadi buah bibir yang menginspirasi kehidupan.

Mungkin kita masih bisa melihat keindahan pelangi saat hujan mereda, atau warna-warni bunga di taman-taman bunga. Pencerapan akan berbagai ilmu dan informasi dari banyak buku yang kita baca, mungkin masih bisa kita nikmati dengan sempurna. Namun, kemauan dan kesungguhan untuk menjalani kehidupan secara sehat jauh lebih membahagiakan. Sebagaimana seorang pelari estafet yang berharap kemenangan, tetapi bila ia tidak pernah memulai langkah pertamanya, kemenangan itu hanya sebuah mimpi. You cannot win if you do not begin!

Ingatlah bahwa kemewahan tidak selalu menjamin bahwa orang akan selamat dari penyakit. Siapa pun tidak akan bisa mengingkari sebuah rasa sakit, atau pada saat masa jatuh sakit itu tiba. Tidak seorang pun bisa menghindari “naas” bila penyakit mencederai kesehatan kita. Jadi, mulailah dari sekarang! Lakukan yang terbaik untuk diri sendiri, orang lain, dan dunia secara keseluruhan. Sebab walau bagaimanapun, Andalah yang berhak memilih, mau menjadi sehat atau sakit?

*Y. Budi U (Ketua Kom.Studi INSPICIO).
Artikel ini pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan
yang diselenggarakan PT ROHTO-MENTHOLATUM, Mei 2007

Sumber bacaan:

Magee, Bryan, 2005. Memoar Seorang Filosof-Pengembaraan di Belantara Filsafat. Bandung: Mizan.

Magnis-Suseno, Franz. 2006. Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Rodgers, Buck dan Irv Levey. 1989. Menggali yang Terbaik dari Diri Sendiri dan Orang Lain. Mitra Utama: Jakarta.

_______ “Pilot Tuna Netra Menjelajahi Dunia”, Banjarmasin Post, 16 April 2007.

Tetsuko Kuroyanagi. 2004. Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela. Jakarta: Gramedia

Miskin Memang (Bukan) Pilihan

Oleh: Y. Budi U*

Ada banyak rupa alasan,

mengapa orang sanggup menjadi “budak”
Ada banyak cara,
mengapa orang mau melakukan “kejahatan”
Tetapi, rasanya hanya sedikit cara
bagaimana menjadi orang baik ..

Mengikat masa depan

Keampuhan berbagai ramalan, menjadikan seseorang takluk (bagi yang percaya) pada hukum gaib dan tak tunduk pada hukum-hukum positif. Ramalan atau ilmu nujum, yang sejak dulu telah dihidupi bangsa Mesopotamia sebagai ilmu perbintangan (astronomi) yang menghitung jumlah dan gugusan bintang untuk menentukan nasib di kemudian hari; menentukan perjalanan dan pelayaran, adalah sederetan titik yang berdiri rapat lalu membentuk sebuah lingkaran, persegi, atau busur setengah lingkaran.

Tapi ramalan lebih seperti mitos, ilmu gaib yang mendongeng, dan masuk ke alam mimpi ketika orang memercayainya. Jika tidak juga puas membunuh rasa penasaran, palmistri (ramalan dengan melihat garis tangan) dan buka aura dapat menjadi pilihan mengubah alur predistinasi. Atau fisiognomi yang meramal watak dan peruntungan lewat bentuk wajah dan tubuh, termasuk dengan melihat pantat dan bentuk payudara (untuk wanita).

Lain halnya dengan kaum predistinian yang amat yakin dengan jalur hidup yang sudah ditentukan. Penganutnya bisa beragam, dari yang ekstrem sampai ke pinggir-pinggir jembatan, dan rumah-rumah kardus. Jika hari ini hanya bisa makan nasi dengan ikan asin; lalu esoknya makan nasi dengan lauk ikan teri, garam, atau bahkan sega aking (nasi basi yang dijemur, lalu dimasak lagi), mungkin itulah tanda-tanda seseorang harus menyerah pada nasib dan bukan ramalan atau dongeng ode kepahlawanan.

Namun terkadang, orang menyamakan “keberuntungan” dengan “nasib”. Pada masanya, saat sang penyiar radio menyebut angka-angka jimat, 4 6 0 2 1 5, tiba-tiba ada teriakan kegirangan karena nomor yang dipasangnya cocok. “Inilah hari keberuntungan saya!” katanya. Sementara di tempat lain, banyak orang membanting kertas togel, memaki, mengaduh, bahkan bunuh diri karena nomornya meleset. “Ya ini memang sudah nasibku!”

Keberuntungan dikaitkan dengan kesialan. Untung berarti tidak rugi (sial). Sial berarti tidak untung. Di tengah depresi atas kenaikan harga barang-barang pokok yang terus melambung, orang miskin masih berharap mendapat ‘keberuntungan’ BLT dari pemerintah.

Di tempat lain, menjadi miskin adalah pilihan, yakni pilihan hidup “mengadu nasib” di tengah terik matahari yang harus dijalani. Hampir sama dengan kaum urban yang juga berniat mengadu nasib ke metropolitan. Jika beruntung, ya dapat pekerjaan syukur penghasilan lumayan; jika tidak ya berarti harus rela tidur di bawah jembatan atau menjadi gelandangan, atau siap dipulangkan kapan saja saat terjaring operasi yustisia.

Relativitas nasib

Mulai kapan nasib bisa ditentukan? Apakah nasib itu? Bukankah ia adalah masa lampau – masa lalu. Sebuah waktu yang telah berlalu, telah dilewati, dijalani (entah dengan sengaja atau tidak). Nasib tidak pernah menjadi nyata atau fakta di waktu yang akan datang/masa depan. Nasib selalu berada dalam kelampauan, karena nasib tak bisa dikatakan di saat seseorang berada dalam ke’esok’an.

Apa seseorang bisa menentukan nasibnya sendiri? Ini juga sebuah definisi yang lain. Dalam kalimat tersebut, nasib (seolah-olah) adalah sebuah “broker” yang menaksir suatu perjalanan hidup. Nasib menjadi kalimat yang hidup. Ia berjalan, berdiri, membayangi, bahkan menjadi ketok palu yang memvonis kehidupan seseorang.

Bila demikian halnya, maka “menyerah pada nasib” adalah perwakilan kata yang tepat. Meskipun hal itu tidak berlaku bagi para pejuang nasib, para pemberontak, revolusioner dan visiun-visiun yang tidak tunduk pada nasib. Lihat saja bagaimana tokoh-tokoh dunia memperjuangkan nasib (dalam arti luas) bangsanya. Mochandas Mahatma Gandhi memilih untuk menjadi tuan rumah di negerinya sendiri; via ahimsa dan gerakan non-violence yang mampu merubuhkan kekangan penjajah. Ketahanan si tokoh kulit hitam Nelson Mandela (Afrika Selatan) melawan separatisme membuahkan rasa manis bagi keluhuran kaumnya juga bangsanya.

Jadi, kesimpulannya bisa jadi amat sederhana. Miskin memang (bukan) sebuah pilihan, meski tak ada seorang pun menginginkannya. Nasib bisa berubah. Nasib bisa dilawan, sejauh ia dilawan dan diperdayai.

*Y. Budi U, Ketua Komunitas Studi INSPICIO

Kontrak Sosial atau Kontrak Seksual?

Ditulis oleh: Vissia Ita Yulianto
 
Menurut Patenan, masyarakat madani atau lebih sering kita kenal sebagai civil society pada umumnya tidak hanya dibangun melalui kontrak sosial, tapi juga melalui kontrak seksual (Patenan; 1988). Kiranya sistem politik dan kemasyarakatan kita telah banyak memberi gambaran apa itu kontrak sosial. Lalu, sebenarnya apa itu kontrak seksual?

Patenan mendefinisikan kontrak seksual sebagai ‘membangun akses yang teratur atau sistimatis oleh laki-laki terhadap tubuh perempuan. Perilaku dan seksualitas mereka dikontrol oleh laki-laki. Meski tanpa menyebut bahwa kontrak seksual dikonstruksikan oleh Negara, ia menyebut bahwa kontrak seksual ini menjadi dasar yang kuat bagi kelangsungan sebuah Negara. Menurut Saskia Wirengga politik seksual adalah peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tubuh, emosi, mental, simbol-simbol dan sensasi estetika. Dalam proses ini baik kesenangan (pleasure) ataupun kekhawatiran (fear) dan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan perempuan dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga wilayah individu maupun sosial dihubungkan pada pusat kekuasaan (Wierengga:1995). Tentu saja dalam pandangan ini perempuan tidak dilibatkan dalam nation building.

Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat Negara tetangga kita Malaysia yang juga multi-etnik sebagai contoh. Walaupun kaum perempuan Malaysia sangat berperan dalam kemajuan perekonomian Negara, namun mereka tetap juga ditempatkan sebagai warga Negara kelas dua. Ruang gerak mereka sangat dibatasi dalam urusan bermasyarakat, berorganisasi, masalah perkawinan termasuk dalam hal berpakaian. Beberapa Negara bagian seperti Kelantan dan Treangganu bahkan memberlakukan peraturan yang amat keras pada perempuan. Bahkan yang terakhir (2006), kaum perempuan Malaysia semakin ditekan dengan Islamic Family Law. Lembaga Swadaya Masyarakat yang menyuarakan UU tersebut semata-mata merupakan kontrak/politik seksual Negara terhadap perempuan dibungkam. Menteri Urusan Wanita, Keluarga dan Masyarakat, Datuk Seri Shahrizat Abdul Jalil, bahkan dengan keras memperingatkan LSM-LSM tersebut untuk tidak melanjutkan aksi mereka. Kurangnya budaya demokrasi dan kebebasan pers yang langsung diawasi oleh Jabatan Penerangan Malaysia mengakibatkan LSM dan organisasi perempuan tidak banyak bisa bicara. Yang jelas, kontrak atau politik seksual di Malaysia dilakukan oleh baik Negara maupun oleh kaum laki-laki.

Agaknya, yang terjadi di Malaysia juga akan kita alami di Indonesia melalui RUU APP. Rencana pembatasan ruang gerak kaum perempuan—bahkan sudah diberlakukan dalam Perda-perda setidaknya di 7 kota di Indonesia yang sekiranya akan diikuti oleh daerah-daerah lainnya seperti Depok—oleh pemerintah Indonesia Bersatu cukup menciutkan nyali. Sebenarnya hal ini terjadi tidak pada saat ini saja. Dari telaah sejarah dan politik Indonesia, hal yang sama pernah terjadi di zaman Orde Baru. Lebih tepatnya menyebut ‘politik seksual’ diberlakukan dan ditegakkan Orde Baru untuk ‘keamanan dan kestabilan negara’. Dalam bukunya The Birth of the New Order State in Indonesia: Sexual Politic and Nationalism, Saskia Wierengga memaparkan tentang penggunaan politik seksual rezim itu. Melalui metafora seksual, organisasi-organisasi perempuan yang dalam pemerintahan Orde Lama aktif dalam kancah politik, tidak lagi diberi ruang gerak. Orde Baru kemudian menanamkan kembali ideologi Jawa tentang ‘kodrat wanita’. Disini tampak betapa tidak setaranya posisi dan peran kaum perempuan dibanding laki-laki.

Sejak lahirya Orde Baru, kaum perempuan sengaja dibedakan secara seksual dari kaum laki-laki. Kata ‘wanita’ sebenarnya berasal dari kata Vinita (ia yang berpendirian) atau shakti (sumber energi) diubah oleh feodalisme Orde Baru menjadi wanito (berani diatur). Hal ini dijadikan legitimasi bagi penyebarluasan politik seksualnya. Wanito tidak boleh berada dalam daerah kawasan laki-laki. Politik praktis menurut Orde Baru adalah milik laki-laki, bukan wanito. Untuk itu, Orde Baru menekan semua perempuan Indonesia untuk menjalani kodratnya sebagai wanita untuk wani ditoto. Sebagai langkah lanjut, Orde Baru membentuk Dharma Wanita sebagai tiang penyangga rezim. Ada lima butir dalam Dharma Wanita (Panca Dharma Wanita) yang tentu saja norma-norma yang terkandung tidak jauh dari urusan-urusan yang berbau domestik. Untuk menyebarluaskan isme domestik ini ke seluruh penjuru negeri, maka dibentuklah PKK. Semua Ibu-ibu harus menjadi anggota PKK. Perempuan ditempatkan di belakang laki-laki, direpotkan dengan urusan KB (Keluarga Berencana) yang harus bertanggung jawab mendidik anak sebagai ibu dan istri yang selalu ada untuk suami yang kemudian dikenal dengan ibuisme Orde Baru (Surya Kusuma). Dengan hegemoni ideologi, perempuan ditempatkan sebagai the second sex, tidak boleh terlibat dalam politik praktis, tidak boleh berprestasi kecuali dalam ruang lingkup domestik. Kedudukan wanita di masyarakat tidak dibidang politik tapi di bidang sosial. Mereka harus menyerahkan masalah kebangsaan dan peradaban untuk ditentukan oleh laki-laki. Negara (laki-laki) ‘aman’ diatas pembatasan dan peraturan untuk kaum perempuan. Terbukti, politik seksual ini mujarap hingga 32 tahun kepemerinthan Orde Baru.

Berakhirnya Orde Baru sedikit memberikan keleluasaan berekspresi bagi gerakan perempuan. Akan tetapi, gerakan tersebut mungkin dinilai terlalu cepat sehingga kini, perempuan dihadapkan lagi pada kenyataan yang tak kalah peliknya. Makin maraknya organisasi-organisasi yang memikirkan kaum perempuan dan makin kuatnya kaum perempuan menyerang benteng dominasi laki-laki dengan menuntut untuk terjun di gelanggang politik paska Orde Baru telah memicu ketakutan kelompok-kelompok tertentu. Namun demikian, ketakutan itu justru diplintir. Kemajuan perempuan ini diterjemahkan secara gersang sehingga isu moralitas dan agama dijadikan komoditas untuk memotong jalannya kemajuan itu. Jelas, salah satu produk ketakutan itu adalah lahirnya RUU APP.

Dalam konteks hidup bernegara saat ini, baik secara langsung maupun tidak, hadirnya RUU APP dikhawatirkan oleh banyak kalangan juga akan bermuara pada pembatasan ruang gerak kaum perempuan yang merupakan mengejawantahan dari politik/kontrak seksual. Bertameng moralitas, tubuh perempuan pun diatur. Cara berpakaian pun diatur karena perempuan dianggap sebagai sumber ‘malapetaka’ yang terjadi di negeri ini. Bagaimana akan mengembangkan moralitas kalau iklim moralitas publik dibebankan hanya pada seksualitas perempuan saja? Bila diatur demikian, bagaimana perempuan bisa mengekspresikan dirinya? Bukankah ini pola-pola patriarkal untuk kembali merebut kekuasaan termasuk kekuasaan seksualnya atas perempuan? Bukankah ini merupakan tekanan dan pemaksaan yang didesakkan bagi kaum perempuan? Tidak ada dialektika dalam proses RUU APP, bahkan terkesan dipaksakan.

Pengadopsian ‘pendisiplinan’ tubuh perempuan seharusnya milik masa lalu, bukan masa sekarang. Pendisiplinan ini merupakan langkah mundur yang jelas akan mengembalikan perempuan dalam jaring patriarki, dan tentu saja hal itu amat mengerikan bagi bangsa ini. Perempuan akan takut keluar rumah sendirian lagi, mereka akan potensial untuk digoda anak-anak kampung atau tukang ojek yang suka mangkal di perempatan-perempatan jalan, mereka akan dianggap ‘sok’ bila mengedepankan diri. RUU APP ini malah akan merendahkan gerak kaum perempuan? Bukankah ini malah mencemari demokrasi dan hak asasi manusia? Perempuan akan kembali pada the second sex yang diatur tindak-tanduknya oleh seksualitas laki-laki.

Jelas, bila seksualitas perempuan diatur, maka kontrak seksual pun berlangsung. Buruknya, kontrak seksual itu tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap perempuan tapi akan dilegitimasi oleh Negara. Singaktnya, RUU APP merupakan terjemahan dari kontrak seksual Negara atas kaum perempuan. Terlepas dari itu semua, kita pun harus ingat bahwa Negara kita adalah Negara yang multi etnik. Ironis, budaya nusantara, nilai-nilai universal yang mempersatukan kita sebagai bangsa yang diusung koalisi Bhineka Tunggal Ika beberapa saat yang lalu malah menuai hujatan bahkan teror bagi para aktivisnya yang semuanya perempuan. Yang pasti, RUU APP akan menciptakan semua situasi untuk membatasi ruang gerak perempuan, bahkan mungkin digunakan sebagai politik ‘penguasa’ untuk mematahkan gerakan perempuan. Melalui peristiwa ini, hendaknya kita kaum perempuan bersama-sama semakin sadar bahwa perjuangan mereka masih panjang.

 
*Artikel ini pernah dimuat di www.jurnalperempuan tanggal 13 Juni 2006


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

CONSUMING GOSSIP: A RE-DOMESTICATION OF WOMEN

CONSUMING GOSSIP:
A RE-DOMESTICATION OF WOMEN
 
 
Women’s movement—from its rebirth in 1960—has singled out that advertising is one of society’s most disturbing mass cultural product (van Zoonen; 1994) and in the following years, the popularity of soap operas has become another serious one. (Scodari: 2003). In the case of Indonesia, celebrity news shows, popularly known as ‘infotainment’, have shifted advertisements and also soap operas to become the most influential and disturbing media product.
Unlike ‘reality shows’ like ‘Big Brother’ or ‘Lost’ which fictionalize ‘real life’, ‘infotainment’ is not fictional, but reality—or documentary—filmed purely for its entertainment value. The format of these shows usually consist primarily of accounts of a celebrity’s love affairs, divorce, life style, drug use, daily activity, sexual abusement, hobbies, conflicts with other artists and such like, simultaneously related to the world of commodities. As it exposes the real domestic and familial details of artists’ lives, infotainment is in fact sends an elementary sense of ‘low culture’ as here they promote and patronize far and wide and audiences are driven to seek temporary celebrity news.
Currently, there are more than 30 separate infotainment programs on all thirteen privately owned TV stations in Indonesia. In SCTV for instance, it even has seven different gossip shows and are spread through the day from Monday to Sunday providing hot gossip on any Indonesian public figure. Young girls, university students, house wives, maids, workers, career women can be totally obsessed and become chain TV watchers from 7 a.m to 8.30 p.m as these popular shows always continually portray programs featuring entertaining women.
In Yogyakarta—one city which is famous for its educational aspect, and  the location of thousands of students who come there  from all over Indonesia to study—almost every university female student possesses at least one television set in their boarding room. Based on my research and close observation in the Yogyakarta’s suburb of Mrican, lots of them turn on their TV in the very early morning either to learn the latest gossip or just to kill time before going to college. Knowing the newest hot gossip seems obligatory for them in order not to miss one episode of the artist’s issue. Like the other thousands of young girls, they have been addicted to infotainment for over than seven years. Infotainment appears to be a daily subject of conversation and has become a people’s spectacle referred to as tontonan masyarakat.
If soap opera audiences have to follow a fixed schedule to watch the show—although as we know the use of VCR/TV guide becomes a timetable for the weeks recording, rather than a dictate for scheduling leisure (Hayward: 2003)—infotainment viewers need not to worry about missing today’s gossip show as it will always be available at any other time and in any case, most gossip shows programs more or less present the same material. Like soap operas which aim at women at home (Dines: 2003), so do gossip shows. But if the technology of a VCR has freed women not to always have be at home to watch their favorite soap, the large number of similarly programmed Infotainment has equally helped female viewers especially—working viewers—to be able to always have access to the pleasure from it.
The pioneer of this infotainment boom is Cek&Ricek which has been broadcast on RCTI now for nearly eight years. Since it has consistently maintained high ratings and, has proved successful commercially, over the years, the number of such programs have been mounting up. Their success has been followed by, amongst others: KISS (Kisah seputar Selebritis), Kabar-Kabari, Kabar-kabari Sensasi, Betis (Berita Selebritis), Otista (Obrolan Selebritis Kita), Silet, Insert (Informasi Selebritis), Ceriwis, Go Show,  Go Spot, Dorce-Show, Hot Spot, Sindanglaia, Halo Selebriti, Was-was, Gosip Apa Gosip, Kasak-Kusuk, Kasak-Kusuk Investigasi, In Dang-Dut, Cross-Check, SMS, Kiss Plus, Insert Pagi, Cek and Ricek, Selebriti & Kriminal, Was-Was and many more. One thing for sure, infotainment has become an Indonesian own model today and is clearly based in the national capital Jakarta, where it has become one of Indonesia’s TV’s largest and fastest growing industries.
What matters, however is not the success of those television products but the impact of their show as culture and values also come into play.  Issues surrounding the nature of these gossip shows become a serious challenge to the ideology of feminism. Gadis Arivia, the chair of Jurnal Perempuan (Women Journal) and one of Jakarta’s leading feminists elite has delivered her critical views on this issue. In my talk with her, she says that the one and only orientation of the very many infotainments is capital. To run this business is very easy and cheap. They do not need to conduct researches or to use their brain. They just sell gossip and conflict. The more gossips and conflicts the better the ratings or magazine sales.
Furthermore, Arivia stresses that as the orientation of these infotainments program is entertainment which can make profit—that is hiburan murahan–, the segment of information is unnoticed. Those programs are intended not to educate but to deceive the society/women (Arivia, 2005). She further explains that the concept of infotainment which flows into the presentation of gossips and conflicts is an implementation of dichotomous thinking; to condition audiences not to think about a message—that is, as to be an intellectually active audience—but conversely, they are trained only to follow—into being a passive dumb audience. In my view, gossip shows become a dangerous air pollution that the women audience breathes every day. It reinforces conservative and domestic values. I have shown above, female viewers become legitimate targets for cultural subject position. The shows which offer a never ending format of problem with a familial and gender bias provides new space and opportunity for women to be away from women’ s participation  in public life while reinforcing that persistent notions of gender inequality as something natural and inevitable. The day time presence of those gossip shows surely affects the meaning of women’s common sense in the complex of Indonesian social formation.
The new television phenomenon at least represents a serious factor in both attempting to influence women’s thinking and in encouraging a large number of women now to stay home. In so doing, the potential of women’s power become withered dealing with a powerful force of un-educational stuff like gossip shows. This is fundamental to how women behave and define the world. It is this new genre of female oriented TV show which leveled down women’s role in Indonesian own society Although like other businesses which concentrated in Jakarta and other big cities in the Java, this mass culture entertainment may effect the role of women in Indonesia at large. Apart from the women’s achievement, what I want to put forward here is that this phenomena of infotainment endangers the role of women in general which had been established by women activist. If in the past, the state reinforced its ideal of domesticated femininity through state mechanism, nowadays, the media through the crowd of presence of unhealthy gossip shows mediates between pleasure and conventional women’s role. Simply said, the celebrity gossip shows phenomena have constituted a new kind of return of domestication of women. 
 
 
 
 
Vissia Ita Yulianto
INSPICIO,
She is the writer of Pesona “Barat” di Indonesia.
This article is part of her paper presented
in SEASREP 10th Anniversary Conference, Chiangmay.
She can be reached at vissia_ita@yahoo.com


Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.

RACISM! WORSENING INDONESIA-MALAYSIA RELATION

RACISM!
WORSENING INDONESIA-MALAYSIA RELATION
 
 
Much have been written about contemporary political tension between Indonesia and Malaysia and they have turned on similar interfierence that problems around Indonesia’s domestic workers (TKI) triggered the current tension (The Jakarta Post, Nov 22, 2007). It is Indonesian government’s failure to take a practical firm action to protect more than 2,6 millions of TKI on one hand, and the attitude of Malaysian government to TKI which appears to have extremely inhuman on the other hand, which accounts the problem. However, I never understand why Malaysians could do physical torture to our domestic workers.
            Here, I am talking about those who, as I write this, are screaming in pain because of the majikan’s  (master’s ) physical and racial mistreatments. We might still remember Ceriati, a TKI who was bruised and jumped from the 2delapan floor using a fabric chain. This time, I am taking about those who comes from remote area, who are only graduated from elementary school without sufficient English mastery,  who are facing  discriminatory practices, who finally are exploited in a poor working conditions, who are facing death penalty, who are employed as maids and always fooled to the point of accepting inequities. And unfortunately those people have to have a new name;  indon“.
Well, it is human nature to be racist to some degree but what a funny thing that people from the same Malay clump and family take racial stereotype to look down the sibling others? However, this condition truly produced structured inequities and distinctions of difference between Malaysian masters from Indonesian workers. The sad thing is that, this word is likely used to address Indonesian people at large. Personally I haven’t been called as Indons (I dont know later) but in September 2004 when I with my 2 Indonesian friends came across Malaysian border in Johor Bahru, the imigration officer asked them; “Kamu indon ya?” (You are indon, right?). It was surely iritating but such thing has been widely used indeed.
            Lately, Indonesian previous Foreign Affairs Minister commented that the word Indon has been commonly used in Malaysian media (Ali Alatas; 2007) and this pejorative word surely engages with issues regarding racism and as its consequence, it devalues humanity. Those conditions truly contribute a strong backing to angry protesters of Indonesian. To that end, it is quite normal that contemporary Jakartans started propounding the word Malek instead of Malaysian as a feedback of Malaysian indon’s construction. However, both of these terms tend to be popular in common usage. Indons and Malek are yet sliped words which share nothing then carrying pejorative meaning to one and another. Negative perseption to one and another is then indisputable.
            We should have learned from our historical knowledge where many similar grounds have been constituted. White people have Paki for Paskitany, Niger for Nigerian, Malay people—including Malaysia—as inlander and Indonesia has bule for white people. This reference also has similar grounds to 17th to 19th century racism where the arena for political and colonial dominance were crossed. In ancient Rome we have patricians, knights, plebelian and slaves. In the middle ages we have feudal lords- vassals, guild-masters- journeyman, apprentices and so on. Now, Malaysia just propounded its political and economical leverage to propose a new subordinate gradations towards our people by their indons creation. If we review the track record of past racism, Malaysian proposal becomes a drawback that need to be addressed.
It is not TKI per se that produces Indon. There are a number of historical, sociological and phycological background. Malaysia’s progressive claiming towards Indonesian traditional properties contributes so much on racism trouble. At this end, the claiming surely runs counter toward what they mean by ‘Truly Asia’, doesn’t it? People’s hatred towards Malaysian current behavior also expressed in quite same manner. In Jakarta, we easily can see people wearing T-shirt full of slipped-words such as Maling-sia (literally means Thief), Malek (Ugly Malaysia) and many more. This references cited above suggest a progressive story of racism.
            Compared to our neighbouring countries, Indonesia has indeed everthing it takes to be the sites of cultural heritage in Asia and and to be the prime position as the representative of Malay culture. But now we have lost favour and Malaysia has much in present. We might see that Malaysian are irrespective and thankless to Indonesia, but I would rather see it the other way around. Let us be honest! We should even thank to Malaysia because they have put consciousness to our national community of our disfaithfulness to our own uncountable traditional properties which we have completely abandonned. More pointedly, we should take up this issues as an awakening back up to re-constitute our nationalist spirit for our national interest. Surely we don’t want to be called as Indons in one side, and it is not civilized enough to call Malaysian either Malek or Malingsia.
 
 
Vissia Ita Yulianto
INSPICIO, a goverment tink-tank  
        She is the author of Pesona “Barat” di  Indonesia.
She can be reached at vissia_ita@yahoo.com
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

Two articles from ITA

There are two articles from ITA. Please enjoy it!!
Best greeting


Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.

Links

Welcome to iNSPICIO’s Blog!

Welcome to iNSPICIO‘s blog.
It’s a posting test. Please come back soon, or you can visit another iNSPICIO‘s blog at WordPress.

Thanks, and God bless!

iNSPICIO adalah sebuah kelompok studi para ex “Kentungan”. “Kentungan” adalah tempat pendidikan para calon imam Gereja Katolik di Jogjakarta. Semula anggotanya adalah ex Seminari Tinggi St. Paulus Jogjakarta, tetapi akhirnya banyak dari ex-ex konvik lain, bahkan dari Keuskupan lain, yang juga bergabung. Kegiatan utamanya adalah diskusi tentang wacana-wacana yang sedang aktual di media massa. Seiring dengan itu juga membangun jaringan untuk berbagi. “Recognizing, sharing, and being aware of the blessings outside the table” adalah misi yang dipelihara sampai saat ini.

Semoga keberadaan blog ini bisa bermanfaat bagi para pengunjung sekalian. Dan semoga, iNSPICIO semakin berkembang menjadi komunitas yang bermanfaat bagi siapa pun juga, termasuk Anda!
Terima kasih atas kunjungannya. God bless! ***

« Older entries