Rasa-rasanya, hal-hal yang berbau Barat—makanan Barat, pola pikir Barat, fashion Barat, arsitektur Barat, gaya hidup Barat, teknologi Barat dan orang Barat (bule-red), mempunyai daya pesona yang begitu dahsyat. Saking dahsyatnya daya pesona itu, kitapun dengan suka hati ingin meniru Barat. Tidak peduli laki-laki maupun perempuan, pejabat atau rakyat miskin, orang kota atau orang desa, orang Solo atau orang Jakarta, semuanya ingin meniru Barat, termasuk warna kulitnya.
Memang, di masa depan, sensitivitas warna kulit sepertinya masih akan menjadi senjata ampuh untuk legitimasi atas banyak kepentingan. Globalisasi, kapitalisme, kelas dan kekuasaan rasanya akan selalu kukuh berusaha menjaga dan membangun kembali hidupnya sentimen warna kulit ini. Akan tetapi, fenomena ini tampaknya merupakan fenomena yang populer di Indonesia, dan juga di seluruh Asia. Namun kritik atas masalah ini berbeda di masing-masing negara. Di Malaysia misalnya, salah satu fenomena yang santer diperbincangkan di kalangan para pemerhati masalah ini adalah mengenai iklan pariwisata Malaysia. Meski mempromosikan ‘Asianess’, namun pelaku atau model yang ditampilkan dalam iklan tersebut kesemuanya adalah perempuan-perempuan berkulit putih atau ada yang indo. Menurut penulis, hal ini bertentangan dengan pesan iklan tersebut yang mengemban jargon: ‘Malaysia, truly Asia’.[1]
Lain halnya dengan yang terjadi di Jepang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Francoise Kadri, perempuan Jepang—bahkan yang masih anak-anak pun—selalu memimpikan untuk mempunyai kulit yang putih seperti cangkang telor rebus yang bersinar. Di negara ini, kulit putih—meski orang Jepang sendiri menurut kaca mata orang Asia sudah berkulit putih—menjadi salah satu simbol kelas, setidaknya hal itu menandakan bahwa seseorang tidak berasal dari desa atau pekerja lapangan. Perempuan harus menggunakan payung bila berada di bawah terik matahari, menggunakan sunblock atau pelindung matahari jika pergi ke pantai, atau bahkan menggunakan pakaian yang rapat menutup tubuh—seperti jaket dan kaos tangan—untuk melindungi mereka dari sengatan matahari yang bisa membuat kulit mereka menjadi gelap. Kadri menyebutkan bahwa sebenarnya, tendensi untuk memiliki kulit putih ini sudah muncul sejak tahun 1960-an. Namun, disebutkan bahwa Jepang mulai tertarik membangun industri kosmetik pemutih kulit ini tujuh tahun kemudian. Ini berarti bahwa sejak tahun 1967, Jepang telah memproduksi produk-produk pemutih dan industri produk-produk pemutih kulit ini merebak pada akhir tahun 1990-an, termasuk di Indonesia. Penjualan dari produk ini selalu meningkat tiap tahunnya. Pada kisaran 1997-2002 saja misalnya, produk pemutih kulit meningkat 23% di Jepang.[2]
Kadri menyebutkan, perempuan Singapura dan Taiwan pun berperilaku tidak jauh berbeda dengan perempuan Jepang. Mereka juga ingin memiliki kulit putih, bahkan putih seperti translucent, hampir seperti kulit transparan. Di Cina, pemutih kulit Cleawhite juga begitu pupuler, demikian berdasarkan laporan Andrea Jung.[3] Di Thailand warna kulit yang digemari saat ini sama dengan di Jepang, yaitu khao khai pog atau kulit putih seperti cangkang telor rebus.[4] Fakta ini diperkuat oleh tulisan Holly High yang menyebutkan bahwa di Thailand, kulit putih itu dianggap cantik secara sosial.[5] Berdasarkan interview penulis pada beberapa perempuan yang berasal dari Filipina, di kalangan generasi muda Filipina, idealisme kulit juga beralih dari warna kayu manggik—warna seperti warna kuning langsat di Indonesia—menjadi putih seperti orang ‘Barat’.[6]
Di Indonesia, sebuah negara demokrasi bekas jajahan Belanda yang memiliki pluralitas budaya dan suku bangsa, ras dan etnik, fenomena kulit putih ini menjadi bahan diskusi menarik.[7] Kaum perempuan sibuk memutihkan kulit coklat atau kulit gelap mereka dengan mengkonsumsi produk-produk pemutih demi mengejar norma-norma global yang berlaku sekarang. Ayu Utami, seorang penulis dan feminis, juga mengakui bahwa ukuran perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putih.[8]
GLOBALISASI dan IKLAN NEO-KOLONIAL
Arus globalisasi sudah tak terbantahkan. Hegemoni budaya modern pun menciptakan dominasi pencitraan dalam bahasa yang sangat mudah dipahami. Modernitas dan globalisasi membentuk masyarakat menjadi semakin seragam atau homogen dengan sistem standardisasi melalui teknologi dan melalui hal-hal yang bersifat komersial, dan sinkronisasi kultural terhadap budaya Barat.[9]
Di bawah panji ‘globalisasi’, feodalisme kolonial negara-negara eksploiter yang kaya raya telah melakukan pemaksaan melalui mekanisme pasar. Di zaman dunia trans-nasional seperti sekarang, kapitalisme media membentuk cara pandang kita terhadap dunia, kesadaran kita terhadap masalah kelas, identitas, gambar diri, nilai-nilai hidup: apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, moralitas atau kejahatan. Media menyediakan simbol-simbol, mitos dan sumber-sumber melalui budaya yang dianggap umum dan melalui apropriasi dimana kita menjadi bagian dari budaya tersebut.[10]
Memang, penayangan produk-produk budaya komersial dari Barat—Hollywood atau London atau Paris misalnya—dengan segala atribut prestisiusnya, bisa menciptakan gap-gap terhadap lokalitas masing-masing negara yang mengonsumsinya. Di Indonesia, budaya massa Amerika mendominasi pola hidup dan cara pandang kita terhadap dunia. Karena kita tidak melek media (media literacy) dan kita juga tidak memiliki tradisi berpikir dialektis, maka saat politik budaya beralih rupa menjadi kapitalisme dan feodalisme global, lagi-lagi kita menjadi obyek. Banyak sekali orang—terutama kaum perempuan tanpa disadari terjebak pada kepentingan-kepentingan dan kompensasi-kompensasi sesaat—seperti kompensasi atas kesadaran warna kulit ini. Mereka samapai babak belur karena harus menyesuaikan diri dengan hirarki global (global hierarchy) yang sedang berlaku. Menurut Lazarfeld and Merton, media mempunyai fungsi sebagai racun pembius (narcotizing dysfunction) yang menjadikan masyarakat kita tidak bisa menjadi bagian dari subyek dalam globalisme ini. Lihat bagaimana kapitalisme membius konsumen dengan iklan neo-kolonialnya.
Iklan Caring Colors, salah satu brand dari produk Biokos, Sari Ayu Martha Tilaar sangat menarik untuk disimak. Iklan yang beriklan di majalah-majalah perempuan terkemuka ini menawarkan rasionalitas menjanjikan. Secara garis besar, iklan ini ingin berkata bahwa untuk bisa diakui orang harus tidak tradisional tapi modern, yaitu dengan memiliki kulit putih. Lihat ilustrasi di bawah:
Iklan ini sangat menarik untuk mewakili produk pemutih lain yang beriklan di media-media cetak, sebab menurut saya, slogan produk pemutih kulit ini sangat semiotis. Dalam iklan tersebut dituliskan ‘Just White and See!’[11] yang merupakan kreasi dari ungkapan dalam bahasa Inggris ‘Just Wait and See!’. Bila dibahasa-Indonesiakan, arti dari slogan produk pemutih Caring tersebut, ‘Jadilah putih dan lihat hasilnya nanti!’
Jelas, iklan ini menciptakan kriteria tunggal tentang feminitas, dan meniadakan keberagaman feminitas lokal. Tapi apapun itu, iklan ini tetap memesona, dan menjadi semakin memesona karena ia menawarkan added value (nilai lebih) atau imaginasi yang dibangun oleh pengiklan, sebagai ekses dari kebutuhan fisik. Hasil atau paket yang bisa diterima oleh seseorang setelah menjadi berkulit putih yang dimaksudkan iklan ini termasuk dalam hitungan tak terhingga. Dari sinilah iklan-iklan tersebut dikemas dalam sebuah paket yang menawarkan fantasi. Contoh lain adalah produk Ponds.
Menurut data dari AC Nielsen, untuk kurun waktu bulan Januari-Desember 2002-2003, peningkatan produk pemutih Ponds White Beauty-Skin Lightening di Indonesia meningkat drastis sampai 110%, dari hitungan 46 milyar menjadi 97 milyar. Di tingkat Asia, peningkatan produksi pemutih ini mencapai 20% pada periode 1997-2002.[12] Dari hasil perhitungan ini, bisa disimpulkan bahwa tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk pemutih kulit meningkat dengan begitu signifikan. Selain indikator tersebut, bertambahnya produk-produk pemutih merek lain yang sampai 47 jenis produk, juga merupakan peta tersendiri yang bisa dibaca sebagai potensi konsumtif masyarakat di Indonesia.
Representasi dari pemutih kulit distrategikan, dilokalkan, dan digeneralisasikan untuk memperluas gairah dan keinginan perempuan dan laki-laki—beberapa iklan pemutih ini menggunakan male approval— dengan terus-menerus menekankan kulit putih sebagai sebuah keharusan untuk feminitas. Iklan secara khusus menghidupkan sensitivitas masa lalu kembali ke dalam kontras dan perbandingan yang tampak (visible contrast and comparison) [13] berdasarkan oposisi biner hirarki patriarkal dan kolonial.
MENTALITAS INLANDER
Mengapa kita mudah sekali termakan iklan-iklan neo-kolonial tersebut dan menerima ide iklan itu sebagai yang semestinya? Mengapa kita bisa meyakini kalau hal-hal yang berbau Barat itu lebih baik dan bahkan superior?
Salah satu jawaban mengapa pemujaan terhadap nilai-nilai asing, khususnya perilaku perempuan Indonesia bisa terjadi karena ketidak-berdayaan masyarakat untuk menyikapi laju Westernisasi yang cepat bahkan super cepat dan menyilaukan. Ketidaksiapan ini salah satunya disebabkan karena mereka masih menderita rasa rendah diri yang penulis sebut dengan ‘mentalitas inlander’. Apa itu mentalitas inlander? Mentalitas inlander yang saya maksud adalah segala pemikiran, konsep, dan perasaan rendah diri—termasuk mengikuti dan mengadopsi nilai-nilai Barat—yang dihidupi oleh orang Indonesia terhadap apapun yang ada sangkut pautnya dengan Barat dan menganggap apapun yang melekat pada Barat tersebut lebih “superior” dibanding dengan apapun yang lekat pada bangsa sendiri.
Lalu, mengapa kita bisa memiliki mentalitas inlander? Menurut saya perasaan rendah diri ini tidak datang dengan serta merta. Perasaan ini ada dan muncul dari rembesan pengalaman sejarah yang secara turun temurun diwariskan oleh para pendahulu ke dalam tradisi kehidupan rakyat Indonesia hingga saat ini. Pendahulu yang saya maksud adalah feodalisme dan kolonialisme. Masa kolonial Belanda sangat membantu kita untuk memahami fenomena kontemporer.
Menurut Frantz Fanon, pengasingan budaya menjadi ciri khas masa kolonial, dan konteks kolonial dicirikan oleh dikotomi yang sengaja diciptakan kaum kolonialis terhadap semua orang.[14] Kolonialisme melakukan pencemaran watak dan brain washing terhadap pribumi atau menurut S.H. Alatas, kolonialisme melakukan revolusi mental. Secara umum, penjajahlah yang mendefinisikan wacana-wacana di negeri jajahannya, termasuk di yang dilakukan kolonial Belanda di Nusantara.
Politik diskriminasi memang dijadikan salah satu ujung tombak kolonial Belanda. Bahkan politik ini pun sudah sengaja ditanamkan pada anak-anak mereka. Saya menggunakan Soekarno sebagai informan saya. Dari pengalaman hidup Soekarno, kita bisa mendapatkan gambaran jelas bagaimana Belanda melakukan brain washing pada pribumi. Soekarno muda mengalami banyak penghinaan. Dalam biografinya Soekarno berkata:
“Klub sepak bola adalah pengalaman traumatik bagiku. ‘Hey kamu kulit coklat! … hey orang kulit coklat! bodoh dan miskin … pribumi … inlander … petani … . Hey, kamu lupa pakai sepatu … .’ ‘Meski anak bule yang masih kecil pun sudah tahu meludahi kami, inilah hal pertama yang diajarkan oleh orang tua mereka setelah tidak lagi memakai popok.”[15]
Anak-anak usia sekolah sudah fasih mengejek, menghina, dan merendahkan orang-orang pribumi. Keterpurukan perasaan yang dialami Soekarno secara individual tampaknya merupakan gambaran dari keterpurukan dan penghinaan yang diterima oleh orang-orang pribumi dalam konteks yang lebih luas. Ia lebih lanjut mendeskripsikan kesengajaan kolonial Belanda dalam usahanya mengkonstruksikan rasa rendah diri masyarakat kita sebagai bangsa yang rendah. Pada sebuah kesempatan Soekarno berucap:
“Tempe itu sejenis makanan yang murah, yang dibuat dari kedelai yang dijamurkan. Negara dengan mental tempe berarti negara yang lemah, lembek. Itulah yang sedang kami alami sekarang. Orang-orang Belanda selalu dan terus-menerus mengatakan ataupun menganggap kami sebagai bangsa dengan otak kapuk. Oleh karena itu, kami menjadi pengecut dan tidak percaya diri—takut untuk duduk, takut untuk berdiri, sebab apapun yang kami lakukan selalu dianggap salah. Kami menjadi orang-orang yang mempunyai hati yang kerdil dan gampang di konstruksikan/diombang-ambingkan.”[16]
Uraian ini membawa ingatan kita pada studi yang dilakukan oleh S.H. Alatas mengenai mitos pribumi malas. Dalam studi itu disebutkan bahwa begitu dijajah, begitu negara diambil alih, dalam segala hal pribumi harus menerima tempat di bawah. Mereka harus direndahkan dan dibuat merasa bodoh dan bersikap tunduk. Bahkan menurut Fanon, dengan sengaja penjajah menyatakan bahwa pribumi tidak dapat merasakan etika; yang melambangkan tidak adanyanya nilai-nilai, tetapi juga peniadaan nilai-nilai. Lebih jelas lagi, Soekarno menunjukkan kesengajaan Belanda untuk membodohkan rakyat:
“Penanaman terus menerus Pemerintah Hindia Belanda kepada kami bahwa kami inferior berhasil meyakinkan kami akan hal itu. Senjata yang mereka pakai adalah dengan meyakinkan kami bahwa kami bodoh dan menananamkan bahwa ras kami adalah ras yang rendah dan hina. Itulah senjata yang dipakai oleh penjajah.”[17]
Dalam bahasa Inggris, lebih tegas lagi Soekarno mengatakan bahwa, “Imperialism is a collection of visible and invisible powers.”[18] Pendapat ini sejajar dengan kekuasaan Barat kontemporer yang berada pada tingkatan norma-norma yang di satu pihak kasat mata sekaligus di lain pihak tidak. Masa penjajahan dianggap Soekarno sebagai masa yang mematikan dan menggelapkan sekaligus menekan segala keinginan rakyat Indonesia untuk mengekspresikan dirinya. Kolonialisme menghalalkan semua cara untuk melanggengkan supremasinya, termasuk tindakan pencucian otak (brain washing) kepada masyarakat Bumiputera.
Kolonialisme merupakan budaya yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan budaya dan menciptakan katagori-katagori universal, tidak hanya mengeksplorasi daerah jajahan dalam bentuk fisik namun juga mengeksploitasi budayanya. Tindak tanduk kita harus patuh pada cara-cara Belanda, sementara kebudayaan pribumi diberangus. Eropa menciptakan dominasi kekuasaan dan sekaligus menentukan standar dan kriteria atas binari beradab dan tidak beradab. Untuk mengerti ini kita perlu mengingat masalah klasifikasi rasial pada abad ke-19 dimana cultuurstelsel adalah landasan kuat proses legalisasi klasifikasi rasial di Hindia-Belanda. J.C. Baud, salah satu pembentuk dan pelaksana cultuurstelsel ini menegaskan bahwa bahasa, warna kulit, agama, moral, keturunan, ingatan historis, dan semuanya adalah sepenuhnya berbeda antara orang-orang Belanda dan orang-orang Jawa. Orang Belanda adalah penguasa dan Jawa adalah yang dikuasai. Salah satu penegasan atas politik rasial ini dilakukan oleh Gubernur Jendral J.J. Rochusen yang memerintah 1848-1849. Dia mempertegas perbedaan biner antara penjajah dan yang dijajah dengan mengagung-agungkan keindahan kulit putih dan superioritas moral dan intelektual bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit coklat.[19] Sampai abad ke-19 asumsi dari klasifikasi rasial ini menjadi legal. Secara garis besar, mungkin latar belakang inilah yang juga menjadi dasar mengapa masyarakat sadar atau tidak sadar menerima konotasi kolonial bahwa kulit putih lebih agung daripada kulit warna kulit lain.
Pada gilirannya, warisan kolonial tersebut berurat akar dan hidup dalam budaya dan pola pikir bahkan alam bawah sadar kita sehingga dalam konteks sekarang, lemahnya kesadaran lokalitas akibat pengasingan budaya dan konstruksi kolonial tersebut melahirkan sikap pemujian, pemujaan, dan penyanjungan yang berlebihan terhadap norma-norma Barat termasuk demam kulit putih ini.
Jadi, sebenarnya masyarakat mengkonsumsi barang-barang tersebut lebih pada kegunaan simbolis untuk kepentingan identitas sosial sebagai salah satu simbol kelas dan modernitas. Orang tidak lagi membeli produk namun lebih pada ekses yang dijanjikan oleh produk pemutih tersebut atau kegunaan simbolis atau maknanya. Nilai lebih dari iklan pemutih ini jelas, yaitu superioritas Barat.
Dipresentasikan dalam acara Temu Koreografer Wanita ke-6, Mataya Arts and Heritage, Solo Grand Mall, 29 April 2008
[1] Iklan pariwisata Malaysia dengan jargon ‘Malaysia Truly Asia’ ini bersaing dengan kampanye pariwisata Yogyakarta yang diprakarsai oleh Gubernur DIY dengan jargon’ Jogyakarta Never Ending Asia.’
[2] Fancoise Kodri, White is Right for Color-Consciousness Japan Women, The Jakarta Post, Sunday, June 29, 2003, hal 5.
[3] Shobana Chandra, Avon Calling in China, http: //www.chinadaily.com.cn/English/doc/2004-03/22/content_316806.htm.
[4] Data ini saya dapatkan dari keterangan Pichet Saipan, seorang kandidat Ph.D Universitas des Sciences Sociales et Humaines, Vietnam National University saat bersama-sama melakukan studi pustaka di Asia Research Institute, National University of Singapore 2004.
[5] Holly High, ‘Black’ Skin ‘White’ Skin: Riches and Beauty in Lao Women’s Bodies, Thai Yunnan Project Bulletin. No. 6 June 2004. hal. 7- 9.
[6] Hasil wawancara saya dengan beberapa ilmuwan negara-negara tersebut yang tergabung dalam Asian Research Institute 2004, National University of Singapore, 2004.
[7] Lih. Vissia Ita Yulianto, The Allure of Whiteness in Indonesia, http:www.afrase.org/euroseas2004/documents/ateliers/euroseas_20_206.doc
[8] Ayu Utami, Si Parasit Lajang, Seks, Sketsa, dan Cerita, Gagas Media, 2004, hal. 85-89.
[9] JN.Pieterse, Globalization as Hybridization seperti dikutip dalam Indigenization of Modernity: Cultural Globalization and the Third World, Raj Mohini Sethi (ed)., Globalization, Culture and Women’s Development, Rawat Publications, Jaipur and New Delhi, 1999.
[10] Douglas Kellner, Cultural Studies, Multiculturalism and the Media Culture dalam Gail Dines and Jean M. Humez (ed)., Gender, Race, and Class in the Media : A Text-Reader, Sage Publications, London and New Delhi, 2003. hal. 9-19.
[11] Just white and see seharusnya Just be white and see.
[12] Francoise Kodri, White is Right for Color-Consciousness Japan Women, The Jakarta Post, Sunday, June 29, 2003.
[13] Goon and Craven, ibid., Pointers 8. Iklan senada bisa ditemukan dalam banyak produk pemutih di Indonesia, misalnya: Purbasari White dimana iklan itu menampilkan seorang laki-laki paruh baya sedang mengadakan audisi terhadap beberapa orang perempuan muda. Dengan serta merta laki-laki itu memilih seorang perempuan yang kulitnya lebih putih daripada warna kulit perempuan lainnya. Bahkan, sambil menunjuk kepada perempuan yang tidak terpilih tersebut dengan berkata, “Kamu! Pakai dulu Purbasari White!”
[14] Frantz Fanon, Bumi Berantakan, Teplok, Yogyakarta, 2000, hal. 16.
[15] Cindy Adams, Soekarno an Autobiography As Told to Cindy Adams, Bobbs-Merrill, London, 1965, hal. 28-33.
[16] Cindy Adams, op.cit., 1965, hal. 33.
[17] Cindy Adams, op.cit., 2001, hal. 46.
[18] Cindy Adams, ibid., 2001, hal. 46.
[19] C. Fasseur, Cornerstone and Stumbling Block: Racial Classification and the Late Colonial State in Indonesia dalam Robert Cribb (ed.), The Late Colonial State in Indonesia: Political and Economic Foundations of the Netherlands Indies 1880-1942, KITLV Press, Leiden, 1994, hal. 31-34.