Archive for Ngangkring

Staf Khusus Menteri

Tidak seperti biasa, aku segera angkat HP-ku ketika dering pertama baru berbunyi. Padahal, nomor yang muncul adalah nomor yang tidak kukenal. Dan biasanya, aku tidak akan menjawab panggilan dari nomor yang tidak aku kenal.

 ”Selamat siang, apakah benar ini Bapak Martin”, kudengar suara ngebass, yang berkesan bijaksana di ujung sana.  

”Ya, saya sendiri. Maaf dengan siapa ini?”  

”Saya Baskoro, Pak, dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”.  

Dengan segera aku mencoba menguasai diri untuk menjawab dengan benar karena sedang berbicara dengan orang pemerintahan nampaknya.  

”Maaf, ada perlu apa sehingga Bapak Baskoro menghubungi saya?”, tanyaku dengan suara yang mulai aku buat agak berat nadanya. 

”Begini, Pak Martin. Saya diminta oleh Bapak Menteri untuk mengumpulkan orang-orang yang punya hati dan prestasi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Mereka tersebut kemudian akan kita seleksi untuk menjadi Staf Khusus Menteri.” 

”Saya mengetahui siapa Pak Martin dari berbagai sumber, terutama dari instansi pendidikan yang merekam nama Bapak di data base mereka. Sudah sejak SD, bapak menerima bea siswa dari pemerintah. SMP juga menerima. Bahkan di SMU, kalau tidak salah di SMU khusus pendeta, bapak juga menerima bea siswa dari pemerintah. Ini, bagi saya, suatu indikasi kalau prestasi akademik Bapak luar biasa. Bahkan di catatan olimpiade Matematika dan Fisika, nama Bapak juga tertera di sana sebagai peserta 10 terbaik di tingkat Kabupaten Magelang.” 

”Selain itu, dari catatan di CV Bapak, kita tahu keterlibatan bapak dalam diskusi-diskusi ilmiah, baik di kampus maupun di tempat lain. Yang terakhir kalau tidak salah, bapak mencantumkan nama Inspicio di dalam CV tersebut di dalam kolom organisasi yang bapak ikuti. Di belakang tulisan Inspicio, diberi keterangan ”yang berhati untuk pendidikan”. 

”Mohon maaf, Pak Baskoro”, sela-ku. ”Dari mana bapak dapat CV saya, sebab sejauh ini saya belum pernah melamar ke Departemen Bapak”. 

”Pak Martin, kebetulan saya dapat dari seorang rekan di Deperindag.” jawab pak Baskoro.  

Aku kemudian ingat, kalau seorang teman kuliah yang kerja di Deperindag pernah meminta CV-ku. Lantas dia meneruskan ceritanya untuk meyakinkanku bahwa aku layak jadi Staf Khusus Menteri. 

”Tulisan keprihatinan bapak mengenai kebudayaan kita juga sudah saya baca. Di situ, bapak menjelaskan kegelisahan sebagai seorang warga negara Indonesia. Kegelisahan dan ketakutan kalau-kalau kebudayaan kita dirampas oleh negara lain. Saya yakin kasus terakhir, yaitu kasus lagu kita dari Maluku, Rasa Sayange yang dipakai Malaysia untuk sound track video promosi pariwisata mereka juga membuat bapak jengkel.”  

”Bagaimana Pak Martin, apakah Bapak bersedia kita rekrut jadi calon Staf Khusus Menteri. Kita akan sangat senang kalau Bapak bersedia. Tenaga dan pikiran Bapak sangat dibutuhkan untuk perkembangan pendidikan dan kebudayaan kita.” 

”Pak Baskoro”, jawabku. ”Demi kemajuan pendidikan dan kebudayaan kita, saya bersedia menjadi kandidat Staf Khusus Menteri. Tetapi Pak Baskoro, kesediaan saya ini tidak ada hubungannya dengan beasiswa yang sudah saya terima. Sejujurnya pendidikan formal adalah hal yang paling saya benci. Sudah sejak TK saya sekolah, selalu yang ditunjukkan pada saya adalah yang salah. Setiap kali menerima hasil test atau ulangan yang dikasih tanda adalah yang salah dan yang benar dibiarkan saja. Ingat lho Pak, sudah sejak TK sampai PT ini dibuat oleh mereka yang menjadi guru. Bayangkan bagaimana pola berpikir negatif itu sudah dimasukkan dalam benak kita sejak usia dini. Jadi wajarlah kalau produk pendidikan salah satunya adalah manusia yang berpikiran negatif: pesimis, iri hati, dengki, sampai kriminal.”

”Ya Pak Martin, itu mungkin nanti jadi masukan untuk Pak Menteri”, timpal Pak Baskoro. 

”Pak Baskoro, sampai sejauh ini saya belum melihat pengabdian para pejabat negeri ini, apalagi di bidang pendidikan dan kebudayaan. Yang jelas, saya akan berjuang untuk meyakinkan bahwa pendidikan haruslah jadi prioritas. Pendidikan gratis bukanlah hal yang luar biasa untuk dibuat. Itu suatu keharusan bagi pemerintah. Jangan sampai orang kita sekolah di luar negeri atau sekolah asing di negeri sendiri. Mereka harus sekolah di sekolah negeri karena gratis dan bermutu. Guru harus digaji tinggi sesuai kompetensi. Kalau sekarang guru gajinya rendah, bagi saya, karena mereka belum kompeten. Wajar kalau gajinya rendah. Pendidikan gratis juga perlu untuk para guru. Jangan main mengadakan sertifikasi. Siapa yang mau, kalau disuruh bayar? Sudah gaji kecil suruh sekolah lagi, kasihan para guru.” 

”Kita juga tidak boleh maen-maen dengan proyek ujian nasional. Ini kan akal-akalah orang yang butuh duit aja tho Pak? Coba ada berapa budget untuk UAN. ……… Gila! Aneh sekali negara ini. Kita sudah jauh ketinggalan Pak. Negeri lain sudah membangun fasilitas pendidikan serba canggih dan murah bahkan gratis. Sementara kita, masih berkutat soal UAN dan pendidikan mahal. Masak pendidikan selama 6 tahun hanya menghasilkan angka-angka. Aneh kan, pemerintah masih suka dengan angka-angka kuantitatif untuk mengukur keberhasilan pendidikan? Bagaimana dengan aspek psikologis, dan psikomotorik anak didik? Apakah ini tidak perlu? Apakah yang perlu hanya kognitif saja? Lucu kan Pak?”. 

”Sementara negeri lain berlomba menghasilkan penemuan-penemuan baru bidang teknologi, kita dari dulu tidak pernah berhasil menemukan pelaku korupsi. Makanya energi kita habis. Kita tidak awas lagi bahwa banyak kekayaan budaya kita dicuri oleh negara lain.” aku tetap tidak peduli sedang berbicara dengan siapa. 

”Yang terakhir, kita harus buat promosi pariwisata kita pak. Kalau Malaysia pakai lagu rasa sayange, kita juga harus buat saingannya. Kita buat promo pariwisata Maluku dengan sound track lagu Rasa Sayange dinyanyikan artis terkenal kita, lalu kita sewa penyanyi terkenal Malaysia untuk jadi penari latar, gitu Pak. Kita jangan diam saja, Pak.

”Kalau perlu kita GANYANG MALAY….”, 

”Om Martin, Om Martin………!! suara keras Bu Kost membangunkanku.  

Segera aku keluar kamar dalam keadaan belum sadar benar.  ”Om, mau minta uang kontrakan!”, bu kost menyadarkanku. 

Nah ternyata aku sudah sadar sekarang. Aku hanya bermimpi mau direkrut jadi stafnya Pak Menteri.

9 Oktober 2007

Martin Edy

Lebarannya Tukang Gule Tikungan

Semenjak saya pindah kantor yang baru (baru hampir 2 bulan ini) ada kebiasaan setiap pagi saya bersama rekan saya sarapan pagi di tukang gule dekat tikungan di kantor saya. Makanya, kami sering menamainya “Gultik” alias gule tikungan. Selain murah meriah tapi menunya menggunakan daging (namanya juga gule). Yang menarik lagi, karena sang penjual gultik itu orang Jawa (sejenis dengan saya) tepatnya di Klaten. Jadi, seringkali pembicaraan kami menggunakan bahasa Jawa (kayak bukan di Jakarta saja, hehehe). Dan kebanyakan yang makan di sana juga orang-orang Jawa perantauan. Ya sudah, Jawalah Indonesiaku, hehehe. Dari hari ke hari maka jadi agak akrablah kami dan muncul beberapa perbincangan yang mana sekarang cukup up to date ya mengenai lebaran dan mudik. … continue reading this entry.